Minggu, 14 Juli 2013

I Love Walking in The Rain Because No One Know I'm Crying

Guntur menggelegar di langit sore itu, hujan lebat pun mengguyur lapangan sekolah seakan menandakan hari yang kelabu. Tampak sekumpulan anak PMR dan Pramuka masih menunggu hujan reda di sekitar lapangan. Di sisi lain anggota ekskul beladiri masih berlatih dengan semangatnya di koridor barat, ada juga yang menyebar di aula sekolah. Di seberang lapangan, aku duduk melamun sendirian, melihat lapangan upacara yang basah terkena derasnya guyuran air hujan. Dinginnya suasana hujan membuatku malas beranjak dari tempat dudukku. Hujan yang selalu mengingatkan sesuatu yang baru saja terjadi seperti mimpi, datang dan pergi tanpa ada jejak tersisa.



*****

Seminggu sebelumnya,

"Yeaaaahhh, akhirnya besok aku pulaaaaaannngggg...!!!", seru Afis sangat girang setelah sebulan tidak pulang ke kampung halamannya. "Ibuuuuu, tunggu aku pulaaaaaannggg...!!!".

"Heeeehhh...berisik banget si...ga tau orang lagi belajar apa?" temannya merasa terganggu mulai sewot.

"Eh, gendut...kirain ga ada orang, hehehe...gendut sebulan aku ga ketemu ibu ndut...dan besok aku pulang, ya haa!!"

"Ah bilang aja mau ketemu Dini, alasan aja kamu mau ketemu ibu..", temannya yang dipanggil Gendut mencibirnya.

"Kan sambil menyelam kelelep, Ndut, hehehe". balasnya dengan santai. "Ga sabar nunggu besok siang".

Dan hari yang ditunggu pun tiba, begitu bel terakhir hari Sabtu berbunyi Afis langsung menghambur keluar kelas dan pulang ke tempat kosnya mengambil barang-barang yang akan di bawa pulang. Dan secepat kilat mencegat angkot ke terminal dan pulang ke kampungnya dengan naik bus selama dua jam. Bayangangannya langsung tertuju pada Dini, gadis pujaannya, menunggunya di terminal kedatangan seperti biasa. Sudah satu setengah tahun menjalin kasih dengannya. Lamunannya terhenti saat kondektur bus datang menarik ongkos. Dua jam kemudian sampailah di terminal tujuan. Namun....

"Mana Dini ya? ko ga keliatan? biasanya dia nungguin disini". Gumamnya sendiri. "Mana ya ni anak?"

Afis pun berputar-putar di sekitaran terminal mencari Dini, tapi yang dicari tidak menampakkan batang hidungnya. Setelah lelah berputar-putar dan bus terakhir ke rumahnya akan berangkat, akhirnya dia memutuskan untuk menemuinya besok hari. Dan langsung naik ke bus ke rumah.

Keesokan harinya, Afis sudah rapi pagi-pagi dan segera bergegas ke rumah kekasih hatinya. Tetapi sesampainya disana, rumah tampak sepi, tidak ada aktivitas di dalamnya. Segera dia pergi ke rumah Rina, sahabat Dini.

"Rin, tau Dini kemana ga? Dari kemaren aku cariin ko susah banget ya", keluhnya setelah sampai di tempat Rina dengan muka putus asa.

"Wah ga tau lho dia kemana, tapi emang beberapa minggu ini agak aneh dia, ga kaya biasanya".

"Aneh gimana?" tanyanya heran dan penasaran.

"Mending kamu tanya aja sama anaknya deh, ga enak kalo aku yang ngomong. Takut salah ngomong ntar"

"Emang ada apaan si? Ko jadi penasaran gini".

"Udah deh, ntar aja kalo kamu ketemu dia, kamu tanya langsung ya!"

"Oke deh, aku pulang aja kalo gitu".

Libur dua hari hanya dimanfaatkan Afis untuk mencari Dini sampai putus asa. Ada perasaan penasaran setelah bertemu Rina. Apakah sesuatu telah terjadi dengan Dini dan dia tidak mengetahuinya. Dan di hari Senin dia memutuskan untuk kembali ke kota karena Selasa harus kembali ke bangku sekolah. Setelah menyiapkan perbekalan untuk di tempat kos, Afis bergegas ke terminal agar tidak terlalu sore sampai di kota. Kebetulan teman-temannya juga berangkat sore itu ke kota  yang sama, rencana berkumpul di terminal dan berangkat bersama ke kota. Sesampainya di terminal, ada yang menghampiri...

"Ada apa Rin?", sapanya saat tahu yang datang adalah Rina, sahabat Dini.

"Dini nungguin kamu di tempatku tuh, busnya masih lama kan?" tanyanya kemudian.

"Aku bisa naik bus terakhir ko tenang aja".

Segera mereka berdua ke tempat Rina, dimana Dini sudah menunggu. Betapa senangnya Afis saat bertemu dengan pujaan hatinya. Namun, Dini justru seperti enggan untuk bertatap muka. Perasaan heran, penasaran dan curiga menjadi satu di hati Afis.

"Kenapa Din? Ada masalah? Coba deh cerita, sapa tau aku bisa bantu!"

"Ga ada apa-apa ko". Jawabnya singkat.

"Kalo ada masalah coba dibagi aja deh, kita cari solusinya sama-sama".

"hhmmmmmpphhh....". Dini menghela napas panjang sebelum mulai berbicara. "Kita temenan aja ya?"

Bagaikan disambar petir di siang bolong, spontan Afis tersentak kaget dengan pernyataan Dini yang tiba-tiba. Tidak ada hujan tidak ada badai tiba-tiba Dini ingin mengakhiri hubungan yang sudah terjalin cukup lama begitu saja.

"Ko tiba-tiba gini Din? Ada apa sebenarnya? Aku punya salah? Apa salahku? Coba deh bilang, kalo emang aku salah aku minta maaf".

"Aku ga bisa lanjutin hubungan ini lagi, maaf ya...", balasnya. "Orang tuaku kurang setuju aku pacaran, orang tuaku ingin aku fokus sama sekolah dulu dan ga terganggu dengan pacaran".

"Apa selama ini aku mengganggu?".

"Sekali lagi maaf, aku bener-bener ga bisa lanjutin lagi".

"Kenapa sebenarnya Din? Orang tuamu baik sama aku, sangat welcome. Dan kita udah satu setengah tahun Din, kenapa baru sekarang keberatan? Atau ada orang yang lain?", tanyanya penuh selidik.

"Ga ada, bener deh. Aku emang mau fokus sama sekolahku aja. Sekali lagi maaf ya".

Dengan hancur, Afis melangkahkan kaki menuju terminal yang tidak terlalu jauh dari rumah Rina. Tidak terbayang dalam benaknya semua akan berakhir. Semua kesetiaannya, semua pengorbanannya dan semua yang dilakukan selama ini serasa berakhir sia-sia. Cinta pertamanya berakhir begitu cepat. Antara marah, kesal, bingung, curiga dan penasaran menjadi satu. Sampai di terminal, sudah menunggu Juned, Iben, dan Aris. Melihat sahabatnya bak ayam sayur yang sudah hampir basi, Juned menghampirinya.

"Kenape bro? Loyo amat, ayam kelaperan aja masih bisa lari tuh".

"Aku putus sama Dini". Jawabnya singkat.

"Haaaaahh...!!!"

"Haaaahh...!!!"

"Serius kamu bro? Kenapa emang?" Iben tiba-tiba nimbrung.

"Biasalah alasan klasik, mau fokus sekolah, ga boleh sama orang tua".

"Kamu percaya?"

"Ya ga lah, emang kamu pikir aku sebodoh itu apa? Kalo ga boleh sama ortunya ya harusnya dari dulu donk".

"Pasti orang ketiga! Tapi sapa ya? Kayanya ga ada yang berani deketin dia selama ini bro".

"Udah...udah...itu bus udah mau berangkat, hayo buruan...!!!" Juned mengajak untuk segera naik bus.

Mereka pun bergegas naik bus ke kota. Sepanjang jalan Afis hanya diam, masih terngiang juga perkataan Iben, orang ketiga? Tapi siapa? Semakin dipikirkan semakin bingung dan penasaran, antara mencoba tersenyum dan menahan sedih yang dalam 

*****


"Heiiii...ko ngalamun sendirian, hayoooo...ngalamun sapa ya?". Suara Putri membangunkanku dari lamunan panjangku.

"Ah kamu Put, ngagetin aja". Jawabku sambil berjalan melewati tengah lapangan yang masih diguyur hujan deras.

"Heiii, kenapa malah hujan-hujanan? Ntar kamu sakit gimana...??!!". Teriakan Putri dari pinggir lapangan tempat aku dudukku semula saat liat aku diguyur hujan deras di tengah lapangan.

"Biarlah! Aku sakit juga ga ada yang peduli!" sahutku dari tengah lapangan. "Ga ada yang rugi juga kalo aku sakit".

"Aku peduli ko, makanya aku ingetin. Teman-teman yang lain juga peduli ko sama kamu. Ada apa sebenarnya? Sini neduh dulu jangan hujan-hujanan".

Setelah dibujuk berulang kali dan Putri mengancam akan menyusulku dan menyeretku dari tengah lapangan, akhirnya aku menuruti kemauannya. Aku kembali duduk di tempat semula dalam keadaan basah kuyup. Putri mengambil kain untuk mengeringkan rambutku.

"Kamu kenapa? Ko tiba-tiba jadi aneh gini? Ada masalah?"

"Ga ada ko Put, cuma pikiran lagi kacau aja". Jawabku seadanya.

"Afis yang aku kenal ga lemah kaya gini, ada apa sebenarnya? Semua masalah pasti ada jalan keluarnya, percaya deh".

Langit mulai gelap, saat aku selesai bercerita dengan Putri. Sesuatu yang jarang aku lakukan dengan siapapun. Dan Putri pun berpamitan sebelum dia pulang karena sudah dijemput orang tuanya. Sebelum pulang dia sempat berkata kepadaku.

"Jadi laki-laki harus kuat dan pantang menyerah dengan hidup. Jangan bodoh dengan menyia-nyiakan hidup, dengan atau tanpa dia hidupmu harus terus berjalan. Masih banyak orang di sekitarmu yang menyayangi dan perhatian  dengan hidupmu, Ok?"

"Iya Poet, tapi kalo sesekali hujan-hujanan boleh donk. Kalo aku berada dalam hujan, ga akan ada orang yang tau kalo aku ngeluarin air mata, hehehe". Sahutku sambil tertawa.

"Iya gapapa, tapi aku pastikan ruang UKS terkunci dan kamu ga bisa masuk biar tambah parah kalo sakit, hahaha". Tawanya sambil berlalu.

Hujan sudah mulai reda saat aku melihat putri melambaikan tangan dan tampak sebuah senyuman kecil dari kejauhan, seolah ingin mengatakan sampai jumpa besok dengan keadaan yang lebih baik. Dan sejak saat itu aku seperti menemukan hidup yang baru. Tanpa harus selalu mengingat kejadian yang telah lalu. Namun, kebiasaanku suka main hujan terus berlangsung. Aku merasakan kedamaian saat air hujan mengenai tubuhku. Dinginnya air hujan seolah memadamkan semua api amarah dalam diriku. Dan saat kesedihan datang, aku tidak perlu takut orang akan tahu aku bersedih.

I LOVE WALKING IN THE RAIN, BECAUSE NO ONE KNOW I'M CRYING

THE END

***** 



Tidak ada komentar: